12 April 2010

Lukisan Rumah Tua

Terlihat bekas kemegahan dari bangunan lama yang terletak di jantung kota bogor itu. Pilar-pilar yang menjulang besar menyiratkan keagungannya terdahulu, tapi kini telah diselimuti oleh lumut yang menjadi teman setianya selama puluhan tahun. Membuat warna cerahnya, berubah menjadi kelabu, termakan usia. Meskipun begitu, belum ada tanda-tanda istana itu akan digusur ataupun dipindah tangankan. Rumah itu telah kosong, entah dari kapan. Tak ada satupun yang tahu. Masyarakat sekitar rumah itu, percaya bahwa pemiliknya terdahulu telah meninggal dunia. Dan lagi-lagi tak ada yang tahu, apa sebabnya. Mungkin juga, mereka tak mau tahu tentang hal itu. Karena bangunan tersebut dianggap angker. Tak ada seorangpun yang ingin mengusik, atau menjamah rumah itu. Kecuali ..


“Tia!” teriak seorang anak. Teriakannya menggema ke seluruh ruangan.

“Dimana sih anak itu! Sampe aja entar aku temuin dia! Bakal tak pites kepalanya!” seru Doni, bocah yang berperawakan paling besar diantara ketiga temannya yang lain.

Sedangkan Tia, gadis lincah yang sedang mereka cari, berbadan paling kecil dan memang paling hobi bermain sembunyi-sembunyian. Dan tampaknya, kini dia telah membuat teman-temannya kesal, karena sejak mulai bermain tadi, belum ada satupun diantara mereka yang berhasil menemukannya.

“Ya udah, kita ngaku kalah deh Thi. Keluar dong,” Imbuh Andra.

“Ti, jangan kelamaan dong sembunyinya, ntar kalo kita dimarahin lagi gara-gara berani masuk kesini, gimana ?” ucap seorang gadis manis bernama Dhea.

“Tia ! Tia ! Aduuuh . Eh kalo kamu gak mau keluar dalam hitungan ketiga, kita bakal tinggal nih. Bener!” ancam Doni.
Sebuah kepala menyembul di belakang mereka.
“DDDDHHHAARRR” teriakan itu sontak membuat teman-temannyua terkaget-kaget.

“Aduuuh, ni dia orangnya, sini biar tak...”
“ Eh, tunggu!” cegah Andra.
“Sebenarnya kamu kemana sihh . . ? Kita dari tadi nunggun kamu.” Keluhnya lagi.
Yang dimarah, hanya bisa cengengesan.
“Sini deh !” ajak Tia sembari menarik tangan Andra.

Mereka berempatpun pergi ke sebuah ruangan, sangat besar. Memang, rumah itu adalah basecamp mereka, tapi tak ada satupun diantara mereka yang berani menjelajahi rumah itu, kecuali Tia tentunya. Dan kini, di depan mereka berempat telah terpampang lukisan besar berukuran sekitar 2m x 2m..


Paras cantik itu baru saja terbangun dari tidurnya. Kulit yang putih ditambah rambut hitam indahnya menyempurnakan perawakannya. Tapi , satu hal yang berbeda ada pada raut wajahnya pagi ini. Tidak ada kebahagian disana. Yang ada hanya kecemasan, ketakutan dan kesedihan yang mendalam. Hal itu diperjelas dengan matanya yang sembab dan kantong mata yang besar. Malam kemarin, ia memang tak bisa tidur, alasan satu-satunya adalah karena sang pujaan hati yang bernama Jarwo. Hari ini adalah harinya! Hari ini adalah penentu hubungan mereka. Di jaman ini mamang tidak diijinkan, anak keturunan bangsawan sepertinya menikah dengan keturunan pribumi seperti Jarwo. Tapi apa mau dikata, hati mereka sudah terpaut satu sama lain. Kecuali maut, tak ada satupun yang dapat memisahkan cinta mereka. Matahari belum terbit, diluar masih gelap. Tapi mereka sudah berjanji untuk pergi selamanya meninggalkan istana yang mengurung Addelia. Addelia terus menunggu, walaupun pusing dikepalanya belum bisa ia tangguhkan. Hatinya berdebar. ‘Jarwo! Cepatlah!’ batinnya meringis. Karena ia tahu, akan sulit bagi mereka keluar dari rumah yang berpenjagaaan ketat ini apabila matahari telah meninggi. Ayahnya sangat menentang hubungan mereka. Terlalu lelahnya menunggu, iapun tertidur.


BRAK! Suara keras itu menghantam pintu kamar yang berwarna putih itu.
“Addelia, Addelia..! Bangun nak.” Isak seorang wanita paruh baya.
“Bunda? Bunda kenapa?” tanya Addelia, yang memang belum sadar betul dari tidurnya.
“Sebaiknya kamu turun sekarang karena Bunda, tidak dapat menjelaskannya kepada kamu, nak. Ayahmu akan mengatakan sesuatu.” Hatinya berdebar kencang.
‘Perasaan apa ini? Kenapa firasatku sangat... Ah! Aku tak mengerti.’ Ia turuti juga. Di ruangan itu. Ruangan keluarga yang merupakan ruangan paling besar di rumah mereka,ayahnya terduduk menunggu kehadiran putri semata wayangnya. ‘tak biasanya ayah seperti ini.’

Setelah mereka bertiga terduduk, ayahnya pun mulai berbicara.
“Kini sudah waktunya! Kamu bilang, sore ini kamu akan menikah dengan Van Deboleour itu kan ? anak dari teman ayah!” seru ayahnya.
‘Jarwo tidak datang! Oh tidak! Kemana dia? Apa, dia mengurungkan niatnya untuk membebaskanku. Mungkin karena ia tahu, ia tidak akan pernah bisa selamat dari kejaran antek-antek ayahku ?’
“Hhmmmmh . .” Addelia menghembuskan nafas panjang. “Seperti yang telah kukatakan ayah, aku akan menuruti niat ayah.” Jawab Addelia, seraya pergi dari ruangan itu.
Ia ingin menyadarkan dirinya, dari janji-janji kosong yang telah Jarwo ucapkan kepada dirinya. Ia tak lantas pergi ke kamarnya, tapi batinnya mengatakan ia harus tetap disana, setidaknya diruang baca. Dari sini ia, dapat sayup-sayup mendengar percakapan kedua orang tuanya. Meski dalam keadaan menangis seperti ini.
“Kenapa?” ibunya memulai pembicaraan. “Tidak harus dengan cara seperti itu kan?”kembali bundanya itu terisak.
"Lalu,coba kau katakan! Dengan cara apalagi ia bisa kau bujuk untuk tidak menikah dengan anak tukang kebun itu!” timpal ayahnya.
“Lalu? Apa harus pemuda itu kau bunuh!” sambung wanita itu.
“Dia memaksa masuk, tadi pagi. Aku yakin ia ingin membawa putri kita pergi! Tak ada cara lain untuk menghentikannya! Sudahlah, kau diam saja dia sudah kubereskan di gudang. Tak akan ada yang tahu. Dan satu lagi tak usah beritahukan anakmu itu, biar dia menikah dengan Van Deboleour. Ia pasti akan bahagia.”beber ayahnya.
SREB! Addelia serasa mati lemas mendengar omongan ayahnya tadi. Ia mengambil pulpen yang ada di tempat itu. Keluar dari sana, ia berteriak
“Ayah salah!”
lalu berlari pergi meninggalkan kedua orang tuanya.
“Addelia! Addelia! Kembali! Vacsor, Victor! Semua. Cepat tangkap dia!” perintah pria itu.
Addelia tak menghiraukan apapun. Ia harus pergi ke gudang.
Gudang itu sangat kotor. Lebih kotor lagi, bahkan sudah mulai ada bau atk sedap dari sana! Addelia mengelus pintu yang tergembok itu dengan lembut. Jarwo, tunggu aku! Sreb! Pulpen yang edari tadi dibawanya diunuskan ke arah urat nadi tangannya. Sakit, tapi tak lebih sakit dari perasaan di hatinya. Ia telah meninggal. Tapi tersenyum bahagia. Setelah melihat kejadian itu, ibunda Addelia tak bisa mengatakan apa-apa. Guncangan batin ini terlalu besar untuknya. Dan iapun mengakhiri hidupnya dengan mencertuskan pistol ke arah kepalanya. Sang jendral, tak lebih beruntung. Anak buahnya dipecat. Iapun menjadi gila. Akhir hidupnya? Jatuh ke jurang. Dan tak seorangpun tahu.

“Tia! Tia! Tia!” panggil ketiga temannya.
Sontak ia terbangun. Lemas.
“Kamu kenapa sih ? gak biasanya kamu pingsan?” celoteh dhea
“Eh! Orang pingsan itu, jangan dimarahin dong! Ya udah, kita pulang aja ya. Entar biar aku yang gonceng kamu. Sepedamu biar Doni aja yang bawa.” Urai Andra.
“Eh, kok aku?” protesnya.
“Karena kamu yang paling gede tahu! Ha.ha.” ejek Dhea.
Merekapun pulang dengan hati ringan. Entah bagaimana Tia bisa melihat kejadian tragis Addelia selama pingsan tadi.
“Kak Addelia, semoga kakak bahagia ya!”ucapnya.

“Kenapa, Ti?”

“Ah enggak, besok bonceng aku lagi ya!” guraunya.
“Huuu... enak aja!”

31.12.2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar