13 April 2010

NYANYIAN IBLIS KEMATIAN


Apa kau pernah terlintas akan kematian?


Aku sendiri di tempat gelap ini, tak bersama seorangpun. Hanya aku, gelap dan suara tangan yang lincah menekan tubuh keyboard dari leptop kesayanganku. Aku tak suka kondisi seperti ini. Terlalu sepi. Banyak hal yang tak kusukai didunia ini, gelap, sepi dan sendiri. Kenapa? Kondisi-kondisi itu membuatku berkhayal. Apa yang salah dengan berkhayal? Mungkin bagimu berkhayal itu merupakan sesuatu yang menyenangkan, tapi tidak bagiku. Aaaagggrh, kau akan tau sendiri nanti.


Saat kesunyian ini memelukku erat, sayup-sayup kudengar suara nyanyian seorang wanita. Bukan nyanyian bahagia. Mungkin bila kugambarkan, nyanyian itu terasa seperti . . . eeuuuhhm , , nyanyian kematian. Saat ini, aku sedang tak ingin menceritakan cerita fiksi kepadamu. Tapi, bukannya merasa merinding, rasanya tubuhku sudah amat bersahabat dengan nyanyian itu. Aaargh . . ! ini mengapa aku tak menyukai imaginasi berlebih yang dibuat oleh sel-sel kecil yang nakal di otakku.


Apa kau pernah terlintas akan kematian?



Aku tak tau bagaimana denganmu, tapi perasaanku belakangan ini sangat bersahabat dengan kematian. Hahaha. Apa kini sudah tiba giliranku? Hahaha. Kuceritakan 1 hal. Dua orang teman yang sekelas denganku kini sudah berpindah ketempat lain karena iblis kematian itu. Dan, sejak mereka meninggal, aku baru sadar, kematian itu sangat dekat. Mungkin aku berdosa karena memikirkan iblis itu, tapi aku tak bisa mengelak. Imaginasiku seolah berlayar dan berhenti di tempat iblis terkutuk itu. Jika kau mengira aku menikmatinya, kau salah besar.


Kurang lebih satu tahun yang lalu, aku terduduk diam di depan layar komputerku. Sama seperti saat ini, jari-jariku lincah mengetik tombol keyboard. Memulai sesi yang menyakitkan, berkhayal. Entah mengapa khayalanku sampai pada seorang teman. Teman yang amat kusukai. Dia adalah orang yang sangat kuat, dan sangat ceria. Tapi, hari itu disekolah aku melihatnya mengerang kesakitan hanya karena sakit kepala. Ia terduduk lemas, tak sebanding dengan tubuh tegapnya. Entah apa yang kupikirkan, aku takut karena tau itu bukan sakit kepala biasa. Entah kenapa aku bisa tau, mungkin sekali lagi, itu hanya khayalan brengsek otakku saja? Sungguh. Aku tak tau setan apa yang menghampiri kepalaku. Tuts-tuts itu kutekan sehingga menghasilkan barisan kata, walau belum selesai sepenuhnya. Aku tak suka membuat kerangka tulisan ketika aku mengarang. Kerangkanya kusimpan sendiri di dalam ppikiranku. Dan kali ini aku membuat kerangka yang amat sangat tak kusukai. Waktu itu, aku ingin membuat cerita yang mengisahkan tentang temanku itu dan penyakit maksiatnya. Apa sudah pernah kukatakan padamu? Aku tak menyukai akhir yang bahagia. HampIr semua cerita fiksi yang kubuat berakhir dengan tragis, kebanyakan berhubungan dengan kematian. Itu juga yang kupikirkan ketika membuat cerita tentang temanku itu. Aku ingin membuat perannya meninggal di akhir kisah. Dan saat ini, sudah hampir 1 tahun sejak aku membuat kisah sialan itu. Dan apa kamu tau? Dua bulan yang lalu temanku itu meninggal. Aku tak tau apa cerpen yang kubuat itu merupakan satu pertanda? Atau pikiran dan khayalanku yang membuatnya menjadi nyata?


Aaaaaaaaarrrrgh . . kepalaku sakit. Seperti yang sudah kuceritakan tadi, semenjak kematiannya aku seperti bersahabat dengan iblis kematian itu. Dulu, jika orang berkata padaku bahwa ia rasanya ingin mati aku selalu membentaknya, kadang malah membekapnya. Kini, aku malah menimpali dengan “iya, ajak aku juga ya!” Pernah suatu hari ketika aku mengemudikan motorku, aku merasa seperti iblis itu mendekati dan mengajakku pergi bersamanya ke alam yang entah apa namanya. Aku menolak. Ia pun pergi dan tak berani mendekat kembali.


Sahabatku, yang saat ini mungkin tengah diincarnya. Aku sangat tersiksa dengan celotehannya tentang kematian yang mungkin sebentar lagi akan menjemputnya. Hatiku ini berteriak kesakitan ketika dia mengatakan wajahnya semakin pucat. Kemarin dia berkata padaku, akhir-akhir ini ia sering dihantui perasaan yang membingungkan. Perasaan itu membuatnya malas untuk melakukan apapun, perasaan itu membuat kepalanya berat. Kemarin, ia bercerita setiap malam ia sering menangis, perasaannya gundah entah kenapa. Seperti membunuhnya perlahan. Aku ingin menjerit mendengarnya. Itu sangat menyiksaku. Aku ingin memohon kepada Tuhan, jangan ambil nyawanya. Setidaknya, jangan sekarang. Jangan empat bulan lagi. Jangan 1 tahun lagi, jangan 10 tahun lagi. Biarkan ia menggendong cucunya kelak, biarkan ia menggapai seluruh mimpinya. Kata orang, seseorang tak akan diambil nyawanya bila urusannya didunia ini belum selesai dan bila ada yang tidak mengiginkannya meninggal. Tuhan, aku tak menginginkannya meninggal. aku tak juga mengijinkannya. Aku tau mau, aku tak akan rela.


Nyanyian kematian itu kini menghilang, tapi aku masih bertahan ditempat ini. Masih ditelan gelap. Bedanya, di kepalaku kini rasanya ada 1 karung beras. Telingaku berdengung. Mataku sembab dan berair. Sudahlah . . . aku harus mematikan sel-sel saraf yang ada diotakku, setidaknya untuk 7 jam kedepan. Membiarkannya beristirahat sejenak, agar ia tak bisa membuat khayalan-khayalan aneh yang menyiksa lagi. Tidak untuk saat ini.



12.04.2010

BY :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar